Beranda | Artikel
Bolehkah Menyampaikan Atau Mengamalkan Hadits Yang Tidak Diketahui Derajatnya? (1)
Senin, 1 Juni 2015

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Kaidah besar dalam ilmu hadits

Dalam kitab Tamamul Minnah fit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Al-Albani rahimahullah menuliskan sebuah muqaddimah yang berisikan beberapa kaidah ilmiyah dalam memahami sunnah, beliau mengatakan,

وقبل الشروع في المقصود لا بد من أن أقدم بين يدي ذلك بعض القواعد الأساسية التي لا يستغني عن معرفتها من كان يعنيه أمر التفقه في السنة

Dan sebelum kita memulai inti pembahasan yang dimaksud, maka haruslah saya sampaikan di hadapan Anda beberapa kaidah dasar yang pasti dibutuhkan oleh orang yang mempunyai perhatian (besar) dalam mendalami As-sunnah.”

Salah satu dari beberapa kaidah tersebut yang beliau sebutkan adalah

القاعدة الحادية عشرة لا يجوز ذكر الحديث الضعيف إلا مع بيان ضعفه

“Kaidah kesebelas: Tidak boleh menyebutkan hadits dha’if (lemah) kecuali dengan menjelaskan kelemahannya.”

Syaikh Al-Albani rahimahullah ta’ala menjelaskan dalam kaidah tersebut bahwa banyak didapatkan para penulis, terlebih lagi di zaman sekarang yang menyandarkan suatu hadits dha’if kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa memperingatkan umat terhadap kelemahan hadits tersebut, hal itu disebabkan ketidaktahuannya tentang ilmu sunnah (hadits) atau malas membaca kepada kitab-kitab khusus yang membahas masalah hadits.

Kemudian Syaikh Al-Albani membawakan perkataan Syaikh Abu Syaamah rahimahullah:

بل ينبغي أن يبين أمره إن علم ، وإلا دخل تحت الوعيد في قوله صلى الله عليه وسلم: (( من حدث عني بحديث يرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين )). رواه مسلم

“Bahkan selayaknyalah ia menjelaskan perkaranya (kelemahan hadits dha’if, pent) jika mengetahuinya, namun jika tidak menjelaskannya padahal ia tahu, maka ia termasuk ke dalam ancaman yang terdapat dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta’” (HR. Muslim, Tamamul Minnah, hal. 32).

Dalam kitab Tamamul Minnah, hal. 33-34, Syaikh Al-Albani mengomentari perkataan di atas dengan mengatakan,

“(Apa yang disampaikan oleh Syaikh Abu Syamah) ini adalah hukum tentang (terlarangnya) orang yang tidak menjelaskan (kelemahan) hadits-hadits dha’if  yang berkaitan dengan keutamaan suatu amal shalih ! Maka bagaimana lagi jika hadits-hadits dha’if tersebut berkaitan dengan hukum-hukum syar’i dan yang semisalnya? Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang (nekad) melakukannya (yaitu: tidak menjelaskan kelemahan hadits dha’if), maka ia termasuk salah satu dari dua tipe orang berikut ini:

  1. Tipe pertama, ia mengetahui kelemahan hadits-hadits dha’if itu dan ia tidak memperingatkan kelemahannya, maka ia berarti telah menipu kaum muslimin, dan tentulah ia termasuk kedalam ancaman yang disebutkan dalam hadits tersebut di atas (HR. Muslim, pent). Berkata Ibnu Hibban dalam kitabnya (Adh-Dhu’afaa`: 7/ 1-8) “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang ahlul hadits jika meriwayatkan hadits yang tidak valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didapatkan kedustaan di dalamnya, sedangkan ia mengetahui hal itu, maka ia termasuk ke dalam salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta. (Bahkan sesungguhnya) lahiriyah dari hadits ini menunjukkan kepada sesuatu yang lebih ketat lagi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    (من روى عني حديثا وهو يرى أنه كذب …)

    “Barangsiapa yang menyampaikan dariku sebuah hadits, (sedangkan) hadits tersebut nampaknya dusta”, beliau tidaklah bersabda: ‘sedangkan ia yakin bahwa hadits itu dusta.’ Jadi setiap orang yang ragu-ragu tentang hadits yang ia sampaikan; apakah hadits itu shahih atau tidak, maka ia termasuk ke dalam kandungan yang terdapat dalam hadits ini secara tekstual.”

  2. Dan tipe kedua adalah ia tidak mengetahui lemahnya hadits tersebut (namun berani menyampaikannya, pent.), maka ia juga berdosa karena kelancangannya dalam menyandarkan hadits tersebut kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ilmu. Padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

    (كفى بالمرء كذبا أن يحدث بكل ما سمع)

    “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdusta, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.”
    Maka dia mendapatkan bagian dari dosa orang yang berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa orang yang menyampaikan segala yang ia dengar -termasuk orang yang menulisnya, bahwa ia pasti terjatuh kedalam dosa berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dengan sebab itulah ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta, yaitu pertama, orang yang berdusta (atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kedua, orang yang menyebarkan hadits tersebut.”
    Ibnu Hibban rahimahullah berkata juga (Adh-Dhu’afaa`1/9), ‘Dalam hadits ini terdapat larangan bagi seseorang untuk menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai mengetahui dengan yakin tentang kevaliditasannya.
    Dan An-Nawawi menyatakan dengan jelas bahwa orang yang tidak mengetahui kelemahan sebuah hadits, maka tidak boleh baginya berdalil dengannya, tanpa membahasnya dengan cara memeriksanya, jika ia orang yang memiliki ilmu (memeriksa derajat hadits) atau dengan cara bertanya kepada ulama, jika ia orang yang tidak memiliki ilmu (memeriksa derajat hadits). Silahkan lihat kitab At-Tamhid dalam muqoddimah kitab Adh-Dha’ifah, hal. 10-12”.

Syaikh Al-Albani juga mengatakan dalam Tamamul Minnah, hal.37,

ويبدو لي أن الحافظ رحمه الله يميل إلى عدم جواز العمل بالضعيف بالمعنى المرجوح لقوله فيما تقدم: . . ولا فرق في العمل بالحديث في الأحكام أو في الفضائل إذ الكل شرع

“Dan yang nampak jelas bagiku bahwa Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah memilih pendapat tidak bolehnya mengamalkan hadits dha’if (lemah) dengan makna marjuh, berdasarkan ucapan beliau yang disebutkan sebelumnya, “…Dan tidak ada perbedaan dalam masalah (larangan) mengamalkan hadits dha’if, baik dalam masalah hukum, maupun dalam masalah keutamaan amal shalih (semua terlarang), karena semua itu adalah syari’at.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لا يجوز أن يعتمد فى الشريعة على الأحاديث الضعيفة التى ليست صحيحة ولا حسنة

Syari’at ini tidak boleh berlandaskan kepada hadits-hadits dha’if (lemah), yaitu yang bukan kategori shahih dan bukan pula hasan.” (Majmu’ul Fatawa 1/250).

Syaikh Muhammad Sholeh Al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan,

الأحاديث الضعيفة لا يُستدل بها، ولا يجوز أن تنسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم إلا على وجه يُبيَّن فيه أنها ضعيفة، ومَن حدَّث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث يُرى أنه كذب فهو أحد الكاذبين ، وقد ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار)، فلا يجوز العمل بالحديث الضعيف

Tidak boleh berdalil dengan hadits-hadits yang dha’if (lemah), tidak boleh pula hadits-hadits tersebut disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali jika dijelaskan bahwa hadits-hadits tersebut dha’if.  Barangsiapa yang menyampaikan dari Rasulullah sebuah hadits yang dipandangnya dusta, maka ia termasuk salah satu dari dua golongan manusia yang berdusta. Dan telah benar hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

من كذب عليّ متعمداً فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari Neraka”.  (HR. Al-Bukhari), jadi tidak boleh beramal dengan hadits dha’if(Islamqa.info/ar/131106).

Adapun untuk “Dalil-dalil tentang tidak bolehnya  meriwayatkan suatu hadits yang tidak diketahui shahih atau tidaknya”, maka akan kami sampaikan di artikel bagian kedua. Wa billahit Taufiq.

***

Penulis: Ust. Sa’id Abu Ukasyah

Artikel Muslim.or.id

🔍 Bersabar Dan Bersyukur, Ihdinas Sirotol Mustaqim Artinya, Buku Aqidah Pdf, Bacaan Sesudah Shalat, Faedah Membaca Ayat Kursi


Artikel asli: https://muslim.or.id/25670-bolehkah-menyampaikan-atau-mengamalkan-hadits-yang-tidak-diketahui-derajatnya-1.html